Cinta Pertamaku
“Rika, apa kau mau terus memandangi lapangan basket ?”, ujar Thia sahabatku sambil memasukkan kamus anatominya ke dalam loker. Aku memalingkan pandanganku, tersenyum memandang Thia. Ia menepuk pundakku sembari berkata, “Lebih baik lupakan saja dia daripada kau semakin sakit hati.”Kami berjalan menyusuri lorong sekolah, Thia sibuk bercerita tentang percobaan mikrobanya, namun entah mengapa “dia” terasa jauh memasuki otakku daripada semua cerita Thia.
“Kau tidak mendengarkanku Rika. Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan “sayuran” itu??” Hentakan kaki Thia menyadarkanku kembali. “Aku dengar kok..”, ujarku pelan. Thia memandangku tajam, “No way, mana mungkin kau mendengar ceritaku sampai wajahmu memerah. Oo tidak si “sayur” datang kemari.”
Aku memalingkan wajahku dan mendapati “dia” berjalan hanya sejengkal jauhnya dari tempat kami. Tawanya terdengar begitu jelas memenuhi telingaku, wajahnya memerah terkena panas matahari. Kedua tangannya memeluk baju ganti dan bola basketnya.
Seketika itu juga kakiku melemas, tiap organ tubuhku membeku dan jelas kurasakan kedua tanganku sulit digerakan. Leon memandangku sekilas, dan secepat itu pula ia memalingkan wajahnya. Namun aku jelas melihat gerak mulutnya, “Bocah.”
Thia menggelengkan kepalanya tidak sabar. “ Sampai kapan kau mau memandangi punggungnya?”
Leon adalah pria yang sangat kucintai, entah apa alasannya, bagiku dia begitu sempurna. Leon adalah kakak tingkatku yang sudah lama kukenal karena kami berada di sekolah yang sama sejak SD. Leon pemain basket terbaik dan pemain musik di band sekolah kami. “Terlihat seperti brokoli besar yang sombong”, ujar Thia suatu hari.
Aku terlalu malu untuk melakukan banyak hal diekat Leon sehingga, aku lebih sering menghabiskan waktu di kelas. “ Bodoh”, ujar Thia sambil memasukkan potongan ayam kedalam mulutnya, “Dia bahkan menghiraukanmu, apa yang harus kau takutkan??”
Aku tersenyum memandangnya, Thia sedikitpun tak bisa merasakan semua ini. Begitu rumit untuk dijabarkan, begitu indah untuk dipikirkan, begitu sempurna untuk dirasakan. Semua perasaan ini tumpang tindih didalam hatiku, sulit bagiku untuk mengatakannya.
Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu. Sekolah kami mengadakan perlombaan olah raga dan aku tak sabar melihat Leon beraksi di lapangan basket.
Setiap sudut sekolah dihiasi bendera terang berwarna keemasan, lambang sekolah kami. Tiap jengkal langit-langitnya dihiasi konfeti warna-warni. Setiap siswa menggenggam beberapa bendera kecil, dan ada beberapa pula yang membawa terompet mini berwarna gading.
()
Thia sibuk dengan pita keemasan yang tersemat dirambutnya, “Ini semua membuatku muak, apa kita semua harus mengenakan ini.” Aku membantu memasang pita emasnya sambil memandang Leon yanng sedang duduk bersila dikursi ujung lorong sekolah, wajahnya memerah karena semangat.
“Ayo cepat sebelum kursi depan penuh”, teriak Thia karena gaduhnya suasana. Aku menggelengkan kepalaku pelan, berbalik arah menuju kelas sejarah. “Kau bercanda”, teriak Thia lagi.
Kelas sejarah terletak tepat didepan lapangan basket. Karena berada dilantai dua pemandangan lapangan jauh lebih luas, namun memang tidak terlalu jelas dibanding menonton langsung. “Kau serius mau menonton disini??”, Thia memandangku tak percaya. Aku mengangguk mantap dan segera membuka korden jendela didepanku. “ Bahkan kau tidak membuka jendelanya??Apa cinta segila ini??”
Aku memandang cermat setiap pergerakan di lapangan. Leon terlihat begitu bersemangat. Dalam beberapa menit Leon berhasil mencetak 6 angka. Semua terlihat begitu gembira, bahkan beberapa anak perempuan mulai memperlihatkan sablon pakaiannya yang jelas bertuliskan “LEON PANGERAN BASKET KAMI”.
“Aku bahkan tak bisa melihat jelas siapa saja yang ada dilapangan”, ujar Thia sambil memicingkan matanya, “Memang kau bisa melihat si “sayur”??” tanyanya sambil terus menekankan wajahnya di kaca. Aku mengangguk sambil terus memusatkan seluruh perhatianku pada Leon yang sekarang sedang berusaha mengoper bola pada rekannya.
Akhirnya sekolah kami berhasil memenangkan pertandingan basket, kami unggul 10 poin dibanding sekolah lawan. Leon terlihat begitu puas, wajahnya memerah berpeluh dan entah mengapa ia berpaling dan mendapatiku sedang memandangnya dari kelas sejarah. Aku tak bisa memastikan ekspresi wajahnya, namun aku yakin ia tersenyum lebar.
Semakin hari perasaanku padanya bertambah dan terus bertambah. Aku sendiri juga masih belum bisa mengendalikan seluruh perasaan ini, sulit bagiku untuk bersikap normal didekatnya. Thia sering kali menunjukkan ketidak puasannya padaku, “Tak sengaja menyentuh tangannya bukan berarti berhenti mencuci tangan dan terus mengakukan jarimu seperti itu. Orang akan berpikir kau terkena kram akut.”
Melihatnya dari jauh menjadi satu-satunya caraku untuk bisa memuaskan keinginanku memandang wajahnya. Seringkali aku memandangnya dari balik jendela kelas ataupun dari beranda lantai dua untuk melihatnya duduk di kursi segiempat dibawah pepohonan sekolah.
Pernah suatu kali aku memandanginya dari ruang inggris lantai dua yang berada tepat disamping kantin. Aku merasa ada yang tidak beres karena Leon dan teman-temannya seakan ikut memandangiku dan terkadang mereka tertawa. Namun karena berada dibalik kaca aku merasa baik-baik saja. Dan dugaanku salah, ketika di kantin kucoba memandang jendela kelas inggris yang ternyata tampak jelas seperti stoples, seketika itu aku berharap tanah dibawahku menelanku bulat-bulat.
Sekolah kami menerapkan sistem moving class yang berarti kami harus berpindah tiap mata pelajaran. Hal ini membuatku berusaha menyamakan jadwal kelas Leon dengan jadwalku, berharap bisa berpapasan dengannya, walaupun kenyataannya aku cenderung “menyukai sepatuku” ketika berpapasan dengannya.
Setiap hal tentangnya begitu berarti untuk dilupakan, bahkan kenangan saat aku kehilangan akal dan berteriak dengan jelas, “Semangat !!!” sambil mengangkat tanganku kearahnya. Setiap memori tentangnya tertata rapi di tiap sudut ingatanku, sungguh mustahil melupakannya.
Satu hal yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku adalah saat pertama kalinya aku bisa berbicara dengannya walaupun secara tidak langsung.
Pada tahun keduaku di sekolah, aku harus pindah ke Yogyakarta. Semua hal ini diberitahukan begitu cepat oleh ibuku sehingga aku terlalu sedih untuk melakukan apapun, aku tak sanggup meninggalkan teman-temanku, aku tak akan sanggup pergi dari-“nya”.
Selama seminggu terakhir aku berdoa supaya “dia” bisa memperhatikanku sebelum aku pergi. Aku tahu jelas hal ini mustahil namun apa salahnya mencoba segala kemungkinan. Seminggu terakhir aku habiskan untuk berusaha memberi Leon buku pinkku untuk ditulisinya, aku ingin ia menulis sesuatu dibuku itu. “Paling tidak bisa melihat tulisannya daripada tidak sama sekali”, pikirku berkali-kali. Namun setiap kali aku mencoba entah mengapa perasaan takutku jauh melampaui apapun, sehingga berkali-kali pula aku gagal mendapatkannya.
“Pria bodoh, tak berperasaan, bagaimana mungkin kau bisa mencintainya??”, teriak Thia sambil membanting buku pinkku diatas meja. Aku meminta Thia untuk memberikan bukuku pada Leon. Aku memandang buku pinkku, didalamnya terlihat coretan panjang yang menurutku merupakan taktik bermain basket. “Dia menggunakannya untuk coretan, dasar bocah tengik !!”, teriak Thia lagi.
Dihari terakhirku di sekolah, aku berpamitan kepada semua teman dan guruku. Mereka semua sudah seperti keluargaku sendiri. Aku tumbuh besar dilingkungan sekolah ini, begitu sulit bagiku untuk meninggalkan mereka semua.
Kuberanikan diriku menuliskan pesan panjang kepadanya, seluruh jariku terasa lemas, namun tetap kupaksakan karena aku tahu ini merupakan kesempatan terakhirku. Mungkin hampir puluhan kali aku membaca ulang pesanku sebelum kukirimkan, kupastikan tiap kata, tiap kalimat sesuai dengan yang aku inginkan. Dan akhirnya aku mengirim pesan itu, “Apapun yang terjadi biar saja”, pikirku berkali-kali.
Dan ternyata Tuhan menjawab semua doaku, malam itu aku menerima telepon yang awalnya kupikir Thia (karena ia berusaha meneleponku tiap jam untuk memastikan aku baik-baik saja). Aku mendengar suaranya, pelan namun pasti, ia berbicara perlahan kepadaku. Entah mengapa suaraku terdengar begitu menyedihkan jika dibandingkan dengan suaranya , sulit bagiku untuk berpikir jernih tentang kata-kata yang akan kuucapkan. Namun percakapan kami yang singkat itu membuatku merasakan kebahagiaan yang luar biasa, seakan seluruh organ tubuhku menari gembira.
Ketika aku selesai menerima telepon itu, segera aku berlari dan berteriak kegirangan. “Ada apa??”, ibuku berlari kearahku, wajahnya terlihat khawatir, dan aku hanya bisa memeluk dan menciumnya.
Banyak hal yang telah terjadi di hidupku selama delapan belas tahun ini, namun satu hal yang pasti akan selalu ada di ingatanku, Leon si pemain basket idolaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar